Menurut Siebert, Schramm, dan Peterson (1956) dalam bukunya yang berjudul The Four Theories of The Press, terdapat empat teori yang menjelaskan tentang perkembangan media massa di dunia. Keempat teori tersebut adalah Authoritarianisme, Libertarianisme, Social Responsibility dan Soviet Komunis.
Seperti yang telah diketahui bahwa teori/sistem tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Dan pada bagian ini, saya akan memaparkan sedikit tentang dua sistem yang ada yaitu sistem pers otoritarian dan sistem pers libertarian.
Karakteristik masyarakat otoritarian adalah kedudukan negara lebih tinggi dari individu. Hanya dengan menempatkan diri di bawah negara dan mengikuti semua aturan yang dibuat oleh negara, seorang individu dapat mencapai kebahagiaan dan kesuksesan yang menjadi tujuan hidupnya. Teori atau sistem ini lazim diterapkan dalam masyarakat prademokrasi dan dalam masyarakat yang masih didominasi oleh kekuasaan otoriter atau penekanan.
Secara umum beberapa prinsip atau ciri-ciri dari teori ini adalah:
- Media tidak boleh melakukan hal-hal yang dapat merusak atau mengganggu wewenang yang berlaku.
- Media harus tunduk pada pemegang otoritas kekuasaan.
- Media harus menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik dari kalangan dominan atau mayoritas.
- Sensorship (penyensoran) dapat dibenarkan untuk menegakkan prinsip-prinsip yang dianut.
- Kalangan wartawan dan profesional media lainnya tidak memiliki independensi dalam organisasi medianya.
Implementasi sistem pers otoritarian dapat dilihat pada saat Indonesia memasuki era Orde Baru. Meskipun sistem politik yang dianut kala itu bukanlah sistem politik otoriter, namun dominasi negara atas warga masyarakatnya dirasa sangat menonjol. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan telah diatur oleh negara yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dan ketika terjadi penyimpangan terhadap kebijakan formal serta perbuatan menentang kode moral dapat dipandang sebagai tindak pidana. Sehingga pada saat itu tidak sedikit media massa yang mengalami pembredelan. Media dan para pelakunya tidak diberi kebebasan untuk berekspresi karena apa yang dimunculkan oleh media tidak boleh memperlihatkan keburukan atau kebobrokan yang ada pada pemerintahan. Semua yang tampak pada pemberitaan hanyalah hal-hal yang baik saja.
Sistem pers libertarian muncul sebagai kritik atas sistem pers otoritarian. Dalam sistem ini manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas dan berakal , karenanya mampu untuk memilih antara benar dan salah, baik dan buruk. Negara hanya untuk menyediakan lingkungan yang memungkinkan individu mengembangkan potensinya dan menikmatikebahagiaan sebesar-besarnya. Pola ini kini diterapkan secara meluas diberbagai negara di dunia khususnya yang menganut sistem demokrasi liberal.
Beberapa prinsip dari teori ini adalah:
- Publikasi harus bebas dari setiap upaya penyensoran yang dilakukan pihak ketiga.
- Kegiatan penerbitan dan pendistribusiannya harus terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan ijin atau lisensi.
- Publikasi mengenai “kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi tentang “kebenaran” khususnya yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
- Tidak diperlukan adanya pembatasan-pembatasan hukum terhadap upaya pengumpulan informasi untuk keperluan publikasi.
- Wartawan harus memiliki otonomi profesional yang kuat dalam organisasi medianya.
Sistem pers libertarian ini tampak di Indonesia setelah tergulirnya rezim Orde Baru dan berganti menjadi era Reformasi. Era yang diawali dengan kepemimpinan B.J. Habibie ini memang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada individu untuk berekspresi, kebebasan yang selama ini dikekang oleh pemerintahan Soeharto. Sistem komunikasi massa yang ditimbulkan oleh libertarian ini melahirkan badan milik swasta, media yang dimiliki oleh swasta ini bersaing dalam ajang yang terbuka. Siapa saja yang memiliki modal dapat mendirikan surat kabar atau penerbitan lainnya, seperti banyaknya media yang telah ada di Indonesia pada saat ini.
(Wahyu Dwi Septiningrum / 153070206 / B)
No comments:
Post a Comment